LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SNAKE BITE
1. Pengertian
Racun ular adalah racun hewani yang
terdapat pada ular berbisa. Racun binatang adalah merupakan campuran dari
berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa reaksi toksik
yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun bersifat spesifik terhadap
suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap organ.
Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat
meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari
bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang
bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal. Racun
ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat kurang
toksik dan merusak lebih sedikit jaringan
Bisa adalah suatu zat atau
substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan
pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi,
yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan
suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah
sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki
aktivitas enzimatik.
2. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa,
yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan
perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan
perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang tergigit.
Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam
waktu 8 jam.
Daya toksik bisa
ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa
ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa
ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan
larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung,
tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa
ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu
bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka
gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan
tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam
(nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf
pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan
dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh
limfe.
c. Bisa ular yang
bersifat Myotoksin
Mengakibatkan
rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang
menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang
bersifat kardiotoksin
Merusak
serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular yang
bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat
vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa
ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan
peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat gigitan.
g. Enzim-enzim
Termasuk
hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.
3. Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh,
menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut menyebar melalui peredaran darah yang
dapat mengganggu berbagai system. Seperti, sistem neurogist, sistem
kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik
tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang
dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga menimbulkan
kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik
mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan
pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi
koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.
4. Pathway
Sukar bernapas
|
Bisa ular masuk ke
dalam tubuh
|
Daya toksik menyebar
melalui peredaran darah
|
Gangguan system
neuroligist
|
Gangguan system
kardiovaskuler
|
Gangguan system
pernapasan
|
Oedema pada saluran
pernapasan
|
Toksik masuk pembuluh
darah
|
Koagulopati hebat
|
Hipotensi
|
Gagal napas
|
Mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan
|
Syok hipovolemik
|
5. Manifestasi
Klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal
dan gejala sistemik pada semua gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan
pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di
jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu
gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada
tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka
pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan
otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala
khusus pada gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae
Misal:
ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai,
coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata
dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di
sekitar mulut.
2) Gambaran
sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15
menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam
muncul paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga
sukar bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala,
kulit dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian
dapat terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular
bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam
15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan yang
menyebar ke seluruh anggota badan.
2) Gejala
sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan
pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan
perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya,
ular laut, cirinya:
1) Segera timbul sakit kepala,
lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2) Setelah 30 menit sampai beberapa
jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot
rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat
gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya
ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal ditemukan tanda
gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah gigitan, semua ini
indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2)
Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Tanda dan gejala lain gigitan ular
berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:
a. Efek lokal,
digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa sakit dan
perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah
dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar
sisi gigitan luka.
b. Perdarahan, gigitan
oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau
luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau
bahkan kematian.
c. Efek sistem
saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf.
Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan
otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya,
korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan
kesemutan.
d. Kematian otot, bisa
dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid
Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area
tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba
menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan
bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata korban,
menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.
6. Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah lengkap,
penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin
parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN dan
elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas
sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan.
7. Penatalaksanaan
a. Prinsip penanganan
pada korban gigitan ular:
1) Menghalangi
penyerapan dan penyebaran bisa ular.
2) Menetralkan
bisa.
3) Mengobati
komplikasi.
b. Pertolongan pertama
:
Pertolongan
pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular telah pergi segera cari
pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya lakukan prinsip RIGT,
yaitu:
R: Reassure:
Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban, kepanikan akan
menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke
tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
I: Immobilisation:
Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk tidak berjalan atau lari.
Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik balut
tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar gigitan (tangan atau kaki)
lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).
G: Get:
Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T: Tell
the Doctor: Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul ada
korban.
c. Prosedur Pressure
Immobilization (balut tekan):
1) Balut tekan pada
kaki:
a) Istirahatkan
(immobilisasikan) Korban.
b) Keringkan
sekitar luka gigitan.
c) Gunakan
pembalut elastis.
d) Jaga
luka lebih rendah dari jantung.
e) Sesegera
mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke atas.
f) Biarkan
jari kaki jangan dibalut.
g) Jangan
melepas celana atau baju korban.
h) Balut dengan cara
melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat aliran darah (dapat
dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink).
i)
Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
2) Balut
tekan pada tangan:
a) Balut
dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
b) Balut
siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
c) Lanjutkan
balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
d) Pasang
papan sebagai fiksasi.
e) Gunakan
mitela untuk menggendong tangan.
(Foruniverse,
Nursing. 2010. Pertolongan Pertama Pada Gigitan Ular,
(Online), http://nursing foruniverse. blogspot.
Com/2010/01/pertolongan-pertama-pada-gigitan-ular_18.html, diakses 17 Juli
2011).
d. Penatalaksanaan
selanjutnya
1) &rgin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 78.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: -35.45pt;">
5) ABU
2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 – 40 menit.
6) Heparin
20.000 unit per 24 jam.
7) Monitor
diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2 flacon ABU lagi.
ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).
8) Bila
ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi berikan
adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV.
9) Kalau
perlu dilakukan hemodialise.
10) Bila
diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen.
11) Observasi
pasien minimal 1 x 24 jam
Catatan: Jika
terjadi syok anafilaktik karena ABU, ABU harus dimasukkan secara
cepat sambil diberi adrenalin.
e. Pemberian
ABU
Konsep
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian
keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data
pengkajian pasien, yaitu:
a. Aktivitas
dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit
di bawah jangkauan normal (selama hasil curah jantung tetap
meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik),
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c. Integritas
Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat,
ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri.
d. Eliminasi
Gejala: Diare.
e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan,
penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
f. Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing,
pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau
mental, disorientasi, delirium/koma.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal,
lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
h. Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan
kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat
(37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal, kadang subnormal (dibawah 36,63oC),
menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
i. Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru
saja menjalani kelahiran.
j. Integumen
2. Diagnosa
Keperawatan
- Gangguan
jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Gangguan
Jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan dalam membersihkan sekresi atau
obstruksi dari saluran pernapasan untuk menjaga dari gangguan jalan napas.
- Nyeri
akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga oral,
respon fisik, proses infeksi, misalnya gambaran nyeri, berhati-hati dengan
abdomen, postur tubuh kaku, wajah mengkerut, perubahan tanda vital.
Nyeri
akut adalah. Keadaan ketika individu mengalami dan melaporkan adanya sensasi
tidak nyaman yang parah, yang berlangsung satu detik sampai kurang dari 6
bulan.
- Hipertermia
berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi,
efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
Hipertermi
adalah keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami peningkatan
suhu tubuh yang terus menerus lebih tinggi dari 37,8oC secara oral dan 38,8oC
secara rectal yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal.
- Ketakutan/ansietas
berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur
isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
Ketakutan/ansietas
adalah keadaan dimana seorang individu/kelompok mengalami suatu perasaan
gangguan fisiologis/emosional yang berhubungan dengan suatu sumber yang dapat
diidentifikasi yang dirasakan sebagai bahaya.
- Resiko
infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
Resiko
infeksi adalah resiko untuk terinvasi oleh organisme pathogen.
3. Perencanaan
Diagnosa I :
Gangguan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Menunjukkan bunyi napas jelas,
frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:
1) Pertahankan
jalan napas klien.
Rasional:
Meningkatkan ekspansi paru-paru.
2) Pantau
frekuensi dan kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal
terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi endotoksin.
3) Auskultasi
bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan
munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari kongesti pulmonal/edema
interstisial, atelektasis.
4) Sering
ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang
baik sangat diperlukan untuk mengurangi ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
5) Berikan
O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki
hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan pengeringan saluran pernapasan dan
menurunkan viskositas sputum.
Diagnosa II :
Nyeri akut berhubungan dengan
proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri
berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh tubuh rileks,
berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
1) Kaji
tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum
klien, untuk menentukan intervensi selanjutnya.
2) Kaji
karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan
pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui penyebab nyeri.
3) Ajarkan tehnik
distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa
nyaman dan tenang.
4) Pertahankan
tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
5) Kolaborasi
dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri
sehingga berkurang dan untuk membantu penyembuhan luka.
Diagnosa III :
Hipertermia berhubungan dengan
peningkatan tingkat metabolisme, penyakit, dehidrasi, efek langsung dari
sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur,
proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC),
bebas dari kedinginan.
Intervensi:
1) Pantau suhu
klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC
menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
2) Pantau asupan
dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk mempertahankan
keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan
klien dan membantu menurunkan suhu tubuh.
3) Pantau suhu
lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah
selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
4) Berikan mandi
kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi
demam, karena alkohol dapat membuat kulit kering.
5) Berikan selimut
pendingin.
Rasional: Digunakan untuk
mengurangi demam.
6) Berikan
Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk
mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
Diagnosa IV :
Ketakutan/ansietas berhubungan
dengan krisis situasi, perawatan di rumah sakit/prosedur isolasi, mengingat
pengalaman trauma, ancaman kematian atau kecacatan.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Menyatakan kesadaran perasaan dan
menerimanya dengan cara yang sehat, mengatakan ansietas/ketakutan menurun
sampai tingkat dapat ditangani, menunjukkan keterampilan pemecahan masalah
dengan penggunaan sumber yang efektif.
Intervensi:
1) Berikan
penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional: Pengetahuan apa yang
diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan
kerja sama.
2) Tunjukkan
keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur bebas dari
nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang
terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan tersedia dan bahwa pembrian asuhan
tertarik pada orang tersebut tidak hanya merawat luka.
3) Kaji
status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat
menggunakan penyangkalan dan represi untuk menurunkan dan menyaring informasi
keseluruhan. Beberapa pasien menunjukkan tenang dan status mental waspada,
menunjukkan disosiasi kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
4) Dorong
pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan
apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa
yang menakutkan.
5) Jelaskan
pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan
jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi
menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien/orang terdekat menerima
realitas dan mulai menerima apa yang terjadi.
Diagnosa V :
Resiko infeksi berhubungan dengan
penurunan sistem imun, kegagalan untuk mengatasi infeksi, jaringan traumatik
luka.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi pasien akan:
Mencapai penyembuhan luka tepat
waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
1) Kaji
tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini
terjadinya infeksi.
2) Lakukan
tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi
silang dan mencegah terpajan pada organisme infeksius.
3) Ingatkan klien
untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi
luka.
4) Ajarkan cuci
tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang,
menurunkan resiko infeksi.
5) Periksa luka
setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya
penyembuhan (granulasi jaringan) dan memberikan deteksi dini infeksi luka.
6) Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari
pemajanan kuman.
4. Implementasi
Implementasi
keperawatan merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana tindakan
keperawatan yang mencakup tindakan tindakan independen (mandiri) dan kolaborasi. Akan
tetapi implementasi keperawatan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pasien.
Tindakan mandiri adalah aktivitas perawatan yang didasarkan pada kesimpulan
atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas
kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil
keputusan bersama seperti dokter dan petugas kesehatan lain. (Tarwoto Wartonah,
2004: 6).
5. Evaluasi
Evaluasi
merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak
kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan, serta
apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Hugh A. F. Dudley (Ed), Hamilto Bailey, Ilmu Bedah,
Edisi XI, Gajah Mada University Press, 1992
Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical
Nursing, Lippincott, 1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical
Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd Edition, WB. Saunders
Company, Philadelphia, 1991.
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien
: Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC,
Jakarta, 1998.
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical
Surgical Nursing : Clinical Management for Contuinity of Care, 5th
Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990
Diane C. Baugman, Joann C. Hackley, Medical Surgical
Nursing, Lippincott, 1996
Donna D. Ignatavicius, at al., Medical Surgical
Nursing : A Nursing Process Approach, 2nd Edition, WB. Saunders
Company, Philadelphia, 1991.
Susan Martin Tucker, at al., Standar Perawatan Pasien
: Proses keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, Edisi V, Volume 2, EGC,
Jakarta, 1998.
Joice M. Black, Esther Matassarin Jacobs, Medical
Surgical Nursing : Clinical Management for Contuinity of Care, 5th
Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar